Suatu penyelidikan menyeluruh dan original atas kejahatan Israel yang ditutup-tutupi di tempat terpanas di dunia: Jalur Gaza
Catatan kaki. Bagian paling kecil yang biasanya muncul dalam sebuah buku atau jurnal, merujuk pada referensi sumber paling dahulu dan nyata. Faktanya, bagian paling kecil ini sering tidak kita sadari dan kita lewati begitu saja. Padahal, catatan kaki adalah bagian paling penting dalam tersusunnya buku tersebut. Sebuah sumber kebenaran dari suatu konteks. Sesuatu yang bahkan tanpa catatan kaki, tidak akan pernah terjelaskan dengan sebenar-benarnya maksud.
Begitulah yang ingin disampaikan oleh buku grafis yang disusun oleh Joe Sacco, menurut hematku setelah membacanya. Karena media mainstream—kebanyakan, memberitakan Palestina dan Israel hanya konflik politik kedua negara saja tanpa melihat sisi lainnya. Psikologi, emosi, dan kebenaran-kebenaran yang seolah ditutup-tutupi oleh pembenaran-pembenaran licik dan egois si pelaku. Genosida yang berlangsung bertahun-tahun, pemblokadean, penghancuran. Tangis ibu dan anak-anaknya, yang terasa dibungkam dunia semua coba direkam dalam novel grafis-naturalis berjudul Catatan Kaki dari Gaza.
Buku karya Joe Sacco ini, mencoba mengungkap tragedi berdarah tahun 1956-1957 di wilayah Khan Younis dan Rafah, Jalur Gaza. Pembantaian yang nyaris tak ada bahan apapun yang ditulis dalam bahasa inggris mengenai peristiwa itu, saat itu. 100 orang, 275 orang, dibunuh dalam waktu sehari, dan seolah ditutup-tutupi. Dengan rasa penasarannya, Joe Sacco lalu kembali ke Gaza untuk meneliti secara langsung tentang tragedi memilukan itu. Mencari sumber yang tepat.
Dalam kata pengantarnya, Joe Sacco sendiri mendapati dirinya selalu ditanya buat apa meneliti sejarah tahun 1957? Bukankah semua peristiwa itu terus berlangsung? Warga Palestina tampak tak pernah merenungkan satu tragedi karena tragedi berikutnya keburu menimpa mereka.
Ironis memang.
Belum tuntas tragedi kemanusiaan yang lalu, muncul jua tragedi yang baru. Hari ini, minggu lalu, sebulan yang lalu, setahun yang lalu, bahkan 50 tahun yang lalu, kekejaman itu terus berlangsung. Joe Sacco juga menafsirkan visual yang diilustrasikannya untuk menggambarkan kondisi saat meneliti tragedi itu yang juga masih sama-sama menegangkan saat roket-roket berterbangan di bawah langit Gaza.
Joe Sacco memang seorang kartunis yang kritis, terkemuka dan dikenal luas sebagai creator komik reportasi perang. Gambar-gambarnya memadukan gaya kartun dan naturalisme. Sukses menggambarkan bentuk visual dari penindasan dari pelanggaran kemanusiaan paling popular abad ini di Palestina. Beberapa karyanya adalah Palestine, meraih American Book Award, dan Safe Area Gorazde yang memenangi Eisner Award. Menjadi komik terbaik tahun 2000 menurut majalah TIME.
Namun, terlepas daripada prestasi penulisnya, inginku bahas pula bagaimana kekejaman Israel yang digambarkan dalam peristiwa lampau itu. Jujur saja, dengan melihat visualnya, kamu akan semakin benar-benar merasakan, sebegitu kejamnya, sebegitu bengisnya, para penjajah itu kepada para penduduk Palestina.
Di Khan Younis, 100 mayat sebab peristiwa Fida’iyin, dibunuh dan diletakan begitu saja disebelah tembok-tembok. Dibawa oleh para wanita dengan selimut untuk dikuburkan. Kalian akan merasakan terror itu sendiri karena kekejaman yang tidak masuk akal dari ketakutan yang dibuat oleh para penjajah!

Lalu Rafah, dimana rumah-rumah dihancurkan dengan alasan mencari teroris, merobohkan terowongan. Kesewenang-wenangan mereka yang bahkan tidak begitu peduli, rumah itu masih berpenghuni atau tidak. Sekali dianggap membayakan (dengan tanpa paduan militer yang jelas) begitu saja bulldozer datang dan merobohkannya!
Tak jauh berbeda, tahun 1956 genosida juga terjadi saat para kaum laki-laki disuruh pergi ke sekolah untuk diperiksa. Mencari pengkhianat, mencari penjahat—dengan tanpa memerhatikan prosedur militer yang jelas—Para penjajah itu main tembak! 245 lebih— dalam catatan PBB terbunuh. Mungkin dibunuh? Who knows, namun dengan membaca buku ini sedikit banyak kamu dapat merasakan tragedi berdarah itu dari banyak sudut pandang yang mengalaminya. Kaum laki-laki yang pergi, kaum perempuan yang menangis karena ditinggalkan, para orang tua, kerabat, saudara, anak-anak.
Buku ini, mengutamakan kesaksian lisan orang-orang Palestina yang diminta menceritakan kembali peristiwa tragis di Khan Younis dan Rafah pada November 1956. Di akhir buku ini juga dilengkapi dengan transkrip wawancara bersama beberapa pihak, bahkan dari militer Israel sendiri yang “terkesan” tidak mau disalahkan pada peristiwa tragis tersebut.

Akhir kata, sahabatku semua. Bagi kalian yang ingin lebih tahu tentang isu-isu Palestina, buku ini juga menjadi salah satu referensi yang cukup bagus untuk mengungkap sejarah dan peristiwa yang sedang terjadi dalam bentuk visual yang mumpuni. Tentunya banyak juga referensi lain yang lebih lengkap dalam penyajiannya.
Dan layak dipahami bersama, Palestina HARUSNYA menjadi fokus kita sebagai manusia. Terlebih jika kamu seorang muslim. Bukalah Al Qur’an dan sejarah yang ada. Tragedi kemanusiaan di atas tanah dan bumi yang berkah ini di aliri darah dan air mata. Merupakan tanah para nabi-nabi kita. Palestina tempat Al Aqsha berada, Bumi Syam, Baitul Maqdis, tempat kiblat pertama umat muslim, tempat Isra Mi’raj nya Rasulullah. Tempat tonggak toleransi pertama yang diajarkan Umar bin Khattab. Pembebasannya yang mulia oleh Zanki dan Shalahuddin Al Ayyubi.
Palestina, sahabatku. Sudah berjuang sebegitu hebatnya, melahirkan syuhada, para penghafal quran, dengan bombardier disfungsi media yang selalu blaming begitu saja merubah opini kita tentang mereka. Bahkan menghapusnya dari peta, seolah ingin menghapusnya dari peradaban dunia!
Tanpa sadar, dunia sedang menjauhkan kita untuk peduli pada krisis kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Membuat kita lalai pada tragedi paling ganas abad ini.
Sahabatku, setidaknya, jika kamu belum begitu tahu, berhentilah mencaci dan menghakimi. Rasanya sedih, karena terkadang dilakukan tanpa gamang, oleh orang-orang muslim itu sendiri.
Berhentilah membandingkan saudaramu disana dan disini saat hendak mencurahkan perhatian dan memberi bantuan. Karena, terlepas dari amanah berbagi tugas untuk kontribusi: INGAT SELALU BAHWA tidak perlu batas batas negara untuk berbicara tentang kemanusiaan. Tidak perlu juga untuk menjadi muslim, untuk PEDULI kepada Palestina.
Semoga Palestina selalu dapat ada dalam hati dan pikiran kita.
Ya Allah… Sabarkanlah kami dalam do’a, dan perjuangan jihad
Hanya Engkaulah sebaik-baiknya penolong…
Kami percaya, suatu hari nanti pasti akan menang
Suatu hari nanti, akan merdeka
Wahai diri, Sudah berapa lama kamu begitu lalai?
Rosi Risalah