Cerpen yang terinspirasi dari MAPESA (Masa Pendidikan Sahabat Pers Mahasiswa) 2017
—————–
Sebenarnya, tidak pernah aku mengerti mengapa ini bisa bermula. Niatku hanya untuk mengikuti MAPESA, acara pengukuhan Sahabat Pers Mahasiswa di Pantai Sindangkerta Tasikmalaya. Sungguh aku tidak berniat sengaja terjatuh dengan sadis dan tenggelam pada lautan kejam yang biasa disebut cinta. Alay? Euh, hal ini memang murni dan mutlak, bukan tamasya yang dibuat-buat. Aku tahu… anak cowok bau kencur seperti aku, harusnya cuma jadi bulan-bulanan kakak tingkat.
Tapi, kamu terlalu berani dan seketika membuat aku terpikat. Sejauh mata memandang tali rapia merah yang disusun bak artefak oleh kakak kedisiplinan, sungguh, mataku tidak bisa terlepas dari kamu. Perempuan berkerudung hitam—aku tahu hampir semua peserta perempuan berkerudung hitam, tapi entah mengapa kamu terlihat sedikit berbeda. Suara khas mu saat melawan panitia membuat aku semakin lekat melihat.
“Saya tidak setuju kak. Hal ini tidak wajar. Apa bedanya, sih, menaruh gelang di tangan kiri atau kanan?” dan kamu mulai memecah keheningan.
“Katanya kebersamaan, masa untuk kompak dalam hal kecil begini saja kalian susah?” tim kedisiplinan tentu tidak mau kalah.
“Memangnya dipakai di tangan mana sih yang benar? Apa filosofinya? Apa pengaruh buruknya kalau tidak sama? Kalau tidak ada, ya lanjut saja acaranya, kak. Kami capek!”
Super jawabmu, kalau begini terus kamu bisa menjadi mangsa utama kakak tingkat.
“Oh, kamu capek ya?” seorang kakak timdis[1] menjawab dengan nada sinis.
“Emangnya cuman kalian yang capek? Kita juga capek, dek! Saya kecewa sama kalian!” koordinator timdis pergi setelah kesuh, mungkin lelah dengan kelakuan kami, atau mungkin memang tidak tahu harus membalas apa lagi.
Dan suasana di aula berubah dramatis yang sebenarnya aku tidak paham sedang berada pada tahapan alur mana. Apakah klimaks, atau anti-klimaks, ataukah ini baru permulaan?
“Er… tinggal pindahkan saja pada tangan yang benar, kan?” tambahku sembari mengangkat tangan kiri. Malu-malu dengan khas cowok cupu, loyo, lesu. Mencoba mencairkan ketegangan yang entah sebenarnya bersumber darimana.
Dan aku melihat kamu menatap ke arahku, seperti benci, seperti mendapat musuh baru. Tunggu-tunggu, tatapan apa itu?
Aku menatapmu. Kamu balas membuang muka padaku.
Okay, aku mengerti. Kamu berusaha membela kesalahan sepele yang dilakukan oleh peserta, namun dimatamu mungkin aku adalah pengkhianat yang justru malah membela panitia.
Eh, tapi aku tidak melakukan apa-apa, kok! Aku… hem, hanya coba cairkan suasana.
Namun tetap saja, perdebatan ini diakhiri dengan kami dihukum 10 kali push-up kompak dan hal ini lebih menyakitkan karena kamu menjadi semakin sering membuang muka dan menatap tajam padaku.
Iya, Kamu.
*
“Hem…” aku hanya berdehem. Tenggorokanku tiba-tiba kering. Luar biasa canggung karena aku duduk di sebelahmu. Pura-pura menulis materi tentang tajuk berita—yang karena satu dan lain hal fokusku hilang seketika.
Namun kamu sungguh cuek, sama sekali tidak menatap atau menganggap aku ada. Sakit sih, tapi aku jadi lebih leluasa perhatikanmu tanpa protes. Semakin aku perhatikan, setiap kamu diam tidak bicara, manismu bertambah seperti takaran buruk manisnya sakarin. Aku tahu pasti ada pengaruh buruk dari diam dan manismu itu.
“Kenapa?” kamu akhirnya memelototi aku.
“Enggak.”
Kembali pura-pura aku memerhatikan pemateri. Tanpa sadar membuat aku mengulum penuh emosi meluap-luap yang seharusnya tergurat dalam senyum. Kok rasanya bahagia aja, gitu, ditanya kamu, walau cuman dipelototi.
Seusai pemateri, entah kekejaman apa yang disusun oleh panitia tim acara. Tim kedisiplinan kembali masuk dan mengambil alih acara. Kami disuruh siap-siap ke lapangan hanya dalam waktu—yang mungkin kalau dirumah seperti satu kali mukul nyamuk. Singkat banget!
Kebetulan aku dan kamu—si gadis berkerudung hitam itu berada dekat dengan pintu keluar, kami terdesak. Kamu jatuh. Alat tulismu berserakan. Tapi yang lain perduli amat karena lebih takut tim dis daripada peduli pada temannya sendiri.
Aku juga, hanya bisa menatap kamu dan keluar tanpa membantu. Langsung berbaris di lapangan. Dan setelah itu aku hanya menatap kamu yang terus dimarahi tim dis karena telat berbaris. Melihat di tanganmu ada sedikit luka gores, rasanya tidak menyenangkan.
Rasanya aku benar-benar payah.
**
Entah mungkin semesta memberikan kesempatan sekali lagi padaku untuk menebus kesalahan, atau apalah itu. Pada saat simulasi keredaksian aku sekelompok denganmu. Oleh Pemred (Pemimpin Redaksi) kelompok kami, aku dan kamu ditempatkan pada posisi Reporter, atau pencari berita. Dan hal ini membuat aku dan kamu, mau tak mau harus terus bersama—dalam artian rekan kerja.
Dari lima orang anggota, satu orang menjadi Pemred, satunya lagi Editor, satunya Redaktur, dua orang reporter. Aku juga merangkap menjadi ilustrator, namun sebelum itu semua tetap saja yang harus utama di dapat adalah berita. Bersama jam dinding yang mengalung di leherku, aku dan kamu mulai hunting berita di sekitaran Pantai Sindangkerta.
Aku dan kamu hanya berbicara secukupnya. Seperti, “Coba tanya ke Ibu itu,” atau “Ke sana aja.” Atau “Biar aku yang tanya.”
Mungkin kamu masih kesal padaku.
“Hrmm, minta plester dulu, gimana?” aku mencoba mencari topik pembicaraan. Dan memang ini karena aku peduli.
“Plester?”
“Hansaplas atuh, kalo gak tau mah.” Timpalku sambil menunjuk tanganmu yang memerah, karena jatuh tadi. Iyadong, daripada panitia P3K, aku jauh lebih peka.
“Ah gak papa, luka kecil ini mah.”
“Ntar infeksi.”
“Kalem we.”
“Hem.”
Aku hanya menghela nafas. Dari percakapan tadi, kusimpulkan kamu memang anak yang keras kepala. Aku mengalah, memangnya harus memaksa sekeras apa? Karena sudah mendapatkan 3 berita, aku dan kamu kembali untuk menyerahkannya kepada editor. Dari semua yang dikumpulkan, ternyata Redaktur bilang masih kurang bahan untuk satu lembar.
“Waktunya?” tanyaku.
Semua anggota memandangku, okay, lebih tepatnya melihat pada jam dinding yang mengalung di leherku (ini kerjaan panitia, serius!).
“Masih lama tah, Reporter cik cari bahan deui.” Mas Pemred kembali menitah. Menyuruhku dengan gamblang. Uh, enak banget si Mas Pemred nyuruh-nyuruh. Tapi kuladeni juga, karena memang tugas kami juga sebagai reporter. Si pencari berita.
“Hayu,” kataku mengajak kamu. Kamu mengiyakan dan tak lama darisitu kamu mulai mengajakku berbicara.
“Nyari berita apa lagi, ya? Semua kelompok pasti temanya sama, seputar laut, pantai sindangkerta, wisata yang tak terjamah, mata pencaharian warga, wisatawan. Hem…” kamu berdehem.
Tanpa sadar aku terpesona.
“Kenapa?”
“Eh-oh, enggak.” Aku hanya nyengir. Berharap dia mengira ini semua karena panas mentari.
“Jadi ada ide, gak?”
“Ini gak harus berita juga, kan?” jawabku balik bertanya.
“Ya?”
“Ya, kita bisa buat rubrik sastra? Puisi atau pantun, atau… kutipan-kutipan, gitu.”
“Kamu ilustrator, kan ya? Bisa buat handlettering?” tanyamu. Matamu berbinar. Baru kali ini aku melihat kamu bersemangat—ada didekatku.
“Y-ya, lumayan lah.”
“Nah buat itu aja we. Sekarang pikirin kata-katanya. Yang temanya laut… laut… eh pantai!” kamu berpikir. Duduk pada salah satu akar pohon gede. Kamu bertopang dagu, kerudung hitammu tesibak angin.
“Pantai dan laut itu, beda, hei.” Aku menggumam, sedikit tersenyum memperhatikan kamu yang terus berpikir. Kamu berbalik, tatapanmu menelusuk dalam dengan bola mata hitam yang jernih.
“BTW kalo kamu bisa milih, bakal milih laut atau pantai?”
“Haha, apaan sih pertanyaanya?”
“Jawab aja. Santai.”
“Ntar jadi ngalor ngidul.”
“Jawab aja. Wartawan harus peka.” Kamu terkekeh.
“Hehe, emang ada artinya? Ya aku pilih pantai lah.” Jawabku cepat. Dari konotasinya juga pantai itu terkesan lebih lembut, santai, kalem, gak neko-neko. Sebenarnya pantai itu bagian dari laut kan, istilahnya itu tepi laut. Pesisir. Lebih banyak dikunjungi orang. Lebih ramai.
“Hei, kalian berdua!” tiba-tiba saja suara yang khas bersama sirine dari megafon mendekat ke arah kami. Aku tahu, itu si kakak koor tim dis, wajahnya sudah ditekuk.
“Waktunya hampir habis, cepat kembali ke kelompok kalian!”
“Oke-oke, siap kak!” aku dan kamu langsung bangkit.
Saat diperjalanan, kamu berbisik. “Beda yah. Kalo aku sih pilih laut.” Dan tersenyum dengan ramah. Disaksikan deburan ombak pantai Sindangkerta. Bersama semilir angin yang berhembus seolah dikomando. Dilengkapi dengan gaung suara sirine megafon tim kedisiplinan. Aku tidak percaya, sungguh, akhirnya kamu tersenyum padaku, setelah biasanya cueki aku tanpa ampun.
*
Setelah berdebat panjang dengan panitia, akhirnya kelompokku lulus dalam pembuatan buletin. Berdebat? Yo, itu karena handlettering di lembar akhir buletin yang aku buat berkata “Pantai dan Laut itu beda, hei. Panitia senyum, atuh hei.”
Ini semua karena siapa?
Iya, Kamu.
*
Namun semuanya tidak seindah yang aku harapkan. Semesta punya garis tersendiri dan acara MAPESA ini hanya sebuah tonggak yang menyakitkan. 3 hari 2 malam. Romansa yang aku idam-idamkan, yang coba aku rangkai karena pesona, nyatanya tidak bisa hasilkan banyak buih. Seharusnya aku sadar, saat kamu menjawab kamu memilih laut daripada pantai. Aku sudah kamu tolak dengan gamblang.
Hari itu, hari terakhir acara pengukuhan. Saat semua bersiap pulang, saat seluruh peserta akhirnya di sumpah dan dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM Pers Mahasiswa. Aku melihatmu berjalan dengan seseorang.
Aku tidak ikuti, awalnya aku tidak berpikir yang aneh-aneh. Mungkin hanya pembicaraan biasa antara kamu dan dia. Mungkin kebetulan mencari angin atau sedang membicarakan bisnis (itu mungkin saja, kan.) atau menghitung berapa banyak tali rapia merah yang kamu punya. Aku masih berpikiran positif.
Sampai di bis kampus dengan logo maung aku mendengar kabar itu. Bukan gosip seperti jargon salah satu panitia, tapi ini fakta yang benar-benar sampai pada telinga. Kamu, yang baru tersenyum sekali kepadaku, nyatanya sudah jadian dengan koordinator kedisiplinan. Si kakak timdis yang sering bawa megafon itu?
Kabarnya kamu jadian di pinggir pantai, dengan mahar puisi (aku tahu ini lebay, tapi ini sungguhan), dan kamu menerimanya. Kabarnya kamu tanya pada si kakak itu pilih pantai apa laut, dan dia memilih laut sama seperti yang kamu analogikan.
“Hai.” Mukamu berbinar, menatap aku, menyapa aku duluan. Aku tahu kamu sedang senang. Iyalah, orang habis jadian.
“Hai.” Aku jawab singkat tak berani menatap.
Aku pejamkan mata, rasanya aku butuh obat mabuk perjalanan, bukan, rasanya ini lebih dari mabuk perjalanan. Aku butuh apa. Aduh, aku tidak tahu. Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi bijak bastari dengan sebuah kutipan yang terus terngiang di kepalaku. Mungkin ini hikmah. Mungkin ini keinginan semesta.
“Kau itu wartawan. Salah memilih kata, hilanglah semuanya.”
Aku tahu-aku tahu.
Harusnya aku milih laut saja.
Ah, payah.
*
Salam Pers Mahasiswa!
9 – 02 – 2017
RR
Footnote
[1] Tim Kedisiplinan
Cerita ini pernah di publish di blog Persmaunsil