(image : google)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
*
Aku adalah anak perempuan dan aku anak sematawayag. Aku hidup dalam keluarga yang sederhana namun aku tidak manja, sebab aku tidak dididik untuk seperti itu.
Ayahku adalah seorang pekerja. Ia sosok yang tegas, dengan guratan yang selalu terlihat konstan pada keningnya. Ayah memiliki wajah yang mampu untuk tak berekspresi. Ayah jarang tersenyum bahkan kepadaku sebagai anak perempuan satu-satunya. Hal ini mungkin karena pekerjaan ayah adalah montir dan lebih sering berhadapan dengan benda mati.
Lain halnya dengan ayahku, Ibuku adalah ibu rumah tangga yang lemah lembut dan murah senyum. Ibu selalu mengajariku untuk bersikap ramah kepada banyak orang. Ibu punya mata yang indah, yang tiap kali aku pandangi pasti akan membuatku merasa sangat nyaman. Bola matanya kecoklatan, Ibuku punya mata yang berbeda dari aku dan ayah.
“Bu, mengapa Ibu bisa menikah dengan ayah?” aku bertanya dengan segala rasa ingin tahuku. Aku pernah mendengar pernyataan bahwa jodoh itu akan mirip. Tetapi aku sama sekali tidak melihat hal itu pada ayah dan ibu. Lalu, mengapa mereka bisa bertemu dan menikah. Apa yang menyatukan mereka, aku sungguh ingin tahu.
Ibu hanya tertawa, mungkin aneh baginya mendengar anak seusiaku menanyakan hal itu.
“Aku serius, Bu. Apa yang membuat Ibu jatuh cinta pada Ayah?” aku memilih kata yang lebih jelas, mengapa ibu bisa jatuh cinta kepada Ayah? Ayahku bukan seorang yang bisa membuat wanita terpesona dengan sekali lihat. Ayahku cuek pada penampilannya, ia tak begitu ramah, dan kerutan di keningnya kadang membuatku berpikir apa yang menarik dari ayah. Kalau aku jadi Ibu, Ayah bukanlah tipe laki-laki yang ingin aku ajak hidup bersama.
Ibu menatapku dengan mata coklat gelapnya. “Ayahmu menyukai kopi buatan Ibu.” Ibu lalu tersenyum dan mengelus-elus puncak rambutku.
Aku tidak mengerti.
“Dan ibu begitu saja jatuh cinta pada Ayah?” tanyaku sekali lagi.
Ibu hanya tersenyum dan mencubit pipiku gemas. “Sudah ah, belajar lagi, sana.”
Aku diusir Ibu.
Jadi, ini semua karena Ayah menyukai kopi buatan Ibu?
Apanya yang spesial?
Aku hanya membatin.
Esok hari, esoknya, dan esoknya lagi. Aku tumbuh masih dengan sebuah pernyataan yang ambigu. Aku tak berani bertanya kepada Ayah, padahal mungkin ini adalah titik temunya. Ibu jatuh cinta kepada Ayah, karena Ayah menyukai kopi buatan Ibu. Pertanyaanya, kenapa Ayah menyukai kopi buatan Ibu?
Aku sudah sering melihat, Ibu memberikan secangkir kopi hitam panas kepada ayah. Saat Ayah berada di ruang tamu, atau sedang bekerja di bengkel depan rumah. Aku sering memerhatikannya, tetapi menurutku tidak ada yang spesial di sana.
Ibu hanya menyeduh kopi instan yang dibeli dari warung sebrang rumah, mungkin diberi beberapa sendok teh gula dan mengaduk-aduknya. Sudah, hanyalah seperti itu. Ibuku tidak benar-benar membuat kopi sendiri atau meraciknya dengan berbagai komposisi. Jadi, sebenarnya, apa yang membuat hal itu menjadi spesial.
Akupun beranjak dewasa. Aku berkuliah di luar kota dan harus berpisah dari Ayah dan Ibu. Tak seperti kebanyakan orangtua, Ayahku hanya menepuk pundakku saat aku pamit. Ibuku memelukku dan matanya terlihat berkaca-kaca. Ini pertamakali aku akan jauh dari Ayah dan Ibu.
“Ibu selalu mendoakanmu,nak. Sehat-sehat disana, fokus kuliah, dan jadilah sarjana.” Begitu nasehat Ibuku.
Aku mengangguk dan mencoba menatap Ayah, wajahnya masihlah tak berekspresi lengkap dengan kerutan dikeningnya. Aku menghelas nafas. Lihat, saat anaknya hendak pergi pun, Ayah masih tetap dengan ekspresi tak-ada-ekspresinya.
Esok, esoknya, dan esoknya lagi. Detik demi detik berganti dan tak terasa aku pun sudah menjadi sarjana. Walaupun sudah aku rampungkan sekolah tinggiku, aku tetap saja tak mengerti dengan apa yang terjadi pada Ayah dan Ibu. Sampai akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tak semua jodoh itu haruslah mirip. Ayah dan Ibu tidak serupa sikap dan sifatnya, namun mereka bisa bertahan sangat lama, begitu saja, tanpa benar-benar aku tahu awal mulanya kenapa.
Tepat setelah wisuda, Ibuku di rawat di rumah sakit. Ibu terkena penyakit paru-paru yang sampai sekarang aku tak paham apa nama penyakitnya—aku hanya tahu itu penyakit yang sangat parah. Begitu saja. Tanpa aku tahu penyebab kehadirannya. Tanpa aku sadari tanda-tandanya.
Kebahagiaanku saat diwisuda rasanya menguap begitu saja. Ibu ternyata sudah tua, tubuhnya rapuh, matanya sudah semakin sayu. Aku tak pernah tahu seperti apa rasa sakit yang selama ini diderita olehnya.
“Ibu…” aku tak kuasa melihat ibu terbaring lemah. Tepat saat aku bangkit, Ayah masuk ke dalam ruangan. Aku masih tak mengerti pada raut wajah Ayah. Ia begitu tenang seolah tidak ada hal yang penting yang terjadi kepada Ibu.
Entah kenapa aku merasa kesal dan sakit hati. Aku lalu keluar dari dalam ruangan. Aku ingin melihat reaksi khawatir Ayah, atau ekspresi sedih Ayah, tapi mungkin tidak akan pernah terjadi.
Saat aku diluar, dari jendela samar-samar aku melihat Ayah duduk disebelah Ibu berbaring. Tangan Ayah menggapai lembut tangan ibu. Tangan Ayah lalu mengenggamnya. Ayah menelungkupkan wajahnya di tangan Ibu.
Setidaknya aku tahu, hati Ayah masih khawatir kepada Ibu.
*
Ibuku meninggal begitu cepat. Aku sangat kesal saat itu. Ibu tega, Ibu belum melihat aku berhasil dengan pekerjaanku, Ibu belum melihat aku menikah, Ibu belum melihat aku yang nantinya akan punya anak, Ibu belum melihat banyak perjalanan hidupku.
Beberapa saat rasanya aku membenci Ibu. Namun, aku tahu itu hanyalah bentuk pelampiasan dari kesedihan mendalamku.
Aku begitu kehilangan Ibu. Tetapi sampai Ibu meninggal, aku tidak pernah melihat Ayahku menangis. Kadang aku merasakan kesal dan sedikit benci. Apa yang salah darimu, Ayah? Apakah hatimu begitu beku? Apakah Ayah tidak merasakan perasaan apapun?
Sampai aku mendapatkan sebuah surat dari pihak rumah sakit, surat terakhir yang ditulis oleh Ibuku untukku. Aku kaget. Aku bahkan tidak tahu ibu menulis surat untukku di saat-saat terakhirnya.
Rida anakku sayang,
Terimakasih sudah menjadi anak yang membanggakan untuk Ibu. Ibu bangga kepadamu, sayang. Ibu sayang sekali kepadamu.
Anakku sayang, ada satu hal yang ingin ibu sampaikan kepadamu.
Ini adalah tentang pertanyaanmu sewaktu kecil dulu. Pertanyaan lucu yang membuat Ibu selalu tersenyum saat mengingatnya. Pertanyaan yang mungkin kamu tidak puas pada jawaban yang dulu ibu berikan.
“Mengapa Ibu bisa jatuh cinta kepada Ayah?”
Anakku, Ayahmu adalah sosok yang hebat
Dibalik sifat dinginnya, dia adalah seorang pekerja keras yang tidak pernah mengeluh untuk menafkahi Ibu. Ayahmu mencintai Ibu tanpa banyak menuntut. Ia selalu menangis di saat Shalat Tahajud, memintakan kesembuhan bagi Ibu. Ia menerima Ibu sebagai wanita yang memiliki penyakit, ia tidak pernah mengeluh dan mempermasalahkan itu.
Ayahmu tetap sabar untuk membiayai pengobatan Ibu, dari sejak Ibu muda dahulu.
Anakku, ketahuilah jika Ayah sering menangis saat Shalat Tahajud. Dihari pertama kau berpisah dari ayah dan Ibu, Ayahmu menangis dan terus mendoakan yang terbaik untukmu anakku. Ayahmu memiliki hati yang lembut. Ia selalu mendoakanmu, mendoakan Ibu, bahkan mungkin berkat doanya pun Allah memberi izin agar Ibu hidup lebih lama dan dapat melihatmu menyelesaikan sekolahmu. Apa yang kurang dari Ayahmu, anakku? Dia sudah memberikan nafkah dan kasih sayang kepada Ibu.
“Ayahmu menyukai kopi buatan Ibu.”
Kau ingin tahu mengapa Ibu mengatakan hal itu?
Coba kau sajikan secangkir kopi kepada Ayahmu, anakku. Coba kau lihat sudut pandang Ayahmu saat kau menyajikan secangkir saja kopi kepadanya.
Kau tak akan bertanya lagi, mengapa Ibu bisa jatuh cinta pada Ayah.
Doakan selalu Ibumu, anakku
Salam
Ayah sedang membaca koran saat itu. Aku teringat kata-kata yang tertulis dalam surat Ibu. Aku lalu berdiri dan inisiatif untuk membuat kopi, tanpa ayah minta. Saat di dapur aku baru menyadari, aku tak begitu paham kopi apa yang ayah sukai, sepanas apa temperatur airnya, semanis apa gula yang dicampurkannya. Ada perasaan sakit yang menyusup pelan-pelan. Kopi untuk ayah… seperti apa kopi buatan ibu yang disukai Ayah?
Aku tidak tahu. Aku tidak bertanya, aku malu untuk bertanya.
Sampai setelah selesai aku coba sajikan secangkir kopi panas. Aku simpan di atas meja sebelah tempat duduk Ayah.
“Terimakasih, nak.” Ayah menghentikan membaca koran. Ia langsung mengambil cangkir kopi panas tersebut.
Dari sudut pandang ini, entah mengapa aku tidak melihat kerutan di kening Ayah. Aku memerhatikan Ayah yang menyesap kopi yang masih panas itu. Bibirnya seakan terangkat, tersenyum tipis dengan hangat.
Aku baru melihat ekspresi dari wajah Ayah. Entah itu ekspresi sedih, bahagia, haru, kesal, ekspresi itu begitu dalam dan hangat. Ayah menyesap kopinya tanpa memberikan komentar apa-apa.
“Kopinya enak, nak.” Terdengar Ayah berkata pelan.
Aku tidak tahu apa yang spesial dari kopi yang aku sajikan. Aku hanya menyeduhnya saja, aku hanya menakar semuanya dengan semauku. Namun Ayah tidak memberikan komentar yang buruk untukku.
“Gak, pahit, Yah?”
Ayah terdiam sejenak, lalu kembali menyesap kopi yang aku sajikan. Setelah itu, ia menyimpan cangkir kopi dan menghela nafas. Matanya menatapku dengan dalam, aku baru pertamakali melihat mata Ayah berkaca-kaca.
“Kopi memiliki rasa pahit, nak. Kopi panas selalu membakar lidahmu dengan tanpa aba-aba. Tapi,” aku menunggu kata-kata Ayah.
“Tapi selalu ada hal baik dari sebuah rasa pahit, nak. Tetap ada yang lezat dari sebuah rasa pahit.”
Entah mengapa aku tiba-tiba mengerti bahwa Ibu mencintai Ayah karena Ayah menerima Ibu apa adanya, dengan penyakit yang ibu derita. Aku mengerti, bahwa Ayah tak pandai mengekspresikan dirinya namun dalam hatinya ia begitu lembut dan penyayang. Aku mengerti, bahwa Ayah tak pernah mengeluh dan terus bekerja keras untuk Ibu dan aku anaknya.
Ayah hanya tak pandai mengekspresikannya. Ayah seperti kopi hitam, entah pas atau tidak gulanya. Susah ditakar, sulit dipaksakan, namun dapat dirasakan. Ayah menyesap kopinya, hanya menyesapnya.
*