Jadi ceritanya, saya membaca satu lagi dari buku Seri Tokoh Islam yang dicetak oleh Muara, imprint Kepustakaan Populer Gramedia. Ada 6 tokoh yang di bahas dalam seri ini, yakni Avicenna, Averroes, al-Biruni, al-Kindi, al-Khwarizmi dan Albucasis. Kali ini, mengutip dari buku diatas, saya akan coba membahas sosok yang dikenal sebagai pakar astronomi dan ilmuwan muslim abad ke-11, Abu Raihan Muhammad bin Ahmad al-Biruni (973-1048 M).
Pada zaman sebelum Renaissance, sebenarnya tak dapat dipungkiri akan masa keemasannya sains dan ilmu pengetahuan yang mahsyur oleh para ilmuwan muslim. Pada saat itu buku bisa seharga emas, karena pengetahuan dan penelitian adalah sesuatu yang dilombakan dan sangat dihargai oleh para penguasa.
Pusat-pusat pembelajaran muncul di seantero Timur Tengah dan daerah-daerah lain. Para cendekiawan di bawah naungan penguasa menghabiskan seluruh waktu untuk belajar dan membuat kemajuan besar dalam sains, dan budaya ilmu menyebar ke semua lapisan masyarakat muslim. Pada saat itulah, al-Biruni lahir di Khat (sekarang dikenal dengan Khiva, Uzbekistan) tahun 973 M. Khiva adalah pusat budaya, ekonomi dan sastra yang relatif kecil namun hidup, bernama Khwarizm.

Dengan pergulatan politik pada masa itu, al-Biruni pernah berpindah-pindah tempat, pernah jatuh miskin karena sulit mendapat perlindungan penguasa. Sampai akhirnya menghabiskan waktu lama untuk meneliti hingga meninggal di Ghaznah.
Tercatat pada masanya al-Biruni sudah menulis 180 buku dan dikenal sebagai pemikir polimatik. Polimatik adalah istilah yang menyatakan bahwa seseorang memiliki pengetahuan tidak hanya dalam satu bidang. Memang al-Biruni, terkenal menjadi pakar dalam beberapa bidang, sebagai astronom, matematikawan, fisikawan, ahli geografi, sejarawan, linguis, etnologis, ahli farmasi, penyair, novelis dan bahkan filsuf. Namun beliau paling pakar dan memiliki minat terhadap ilmu Astronomi.
Mungkin al-Biruni memandang astronomi sebagai puncak sains, mempersatukan bidang-bidang seperti matematika, fisika, ilmu alam dan geografi untuk menjelaskan tatanan alam semesta. Salah satunya, Al-Biruni mempelajari beberapa perhitungan yang sudah dilakukan sebelum melakukan percobaan sendiri pada panjang tahun syamsiah (Matahari). Hasil akhir yang di dapat adalah 365 hari, 5 jam, 49 menit yang hanya berselisih di bawah 15 menit dengan hasil perhitungan zaman sekarang!
Satu yang menarik yang akan saya highlight pada ulasan kali ini adalah, tentang filosofi tauhid yang dikenalkan dari pribadi al-Biruni sebagai pembelajar. Dikutip dari halaman 15 buku ini, filosofi tauhid adalah istilah Arab yang berarti keesaan ilahi. Ideologi tersebut—yang mengajarkan bahwa makin tinggi ilmu seseorang, makin dekat dia dengan kearifan universal dan dengan Allah— yang mendorong para cendekiawan muslim belajar berbagai hal dengan penuh semangat.
Dalam buku Tarikh al-Hind (Tarikh India), al-Biruni menyatakan filosofi itu sebagai “berusaha sekuat tenaga meneladani sifat-sifat Allah.” Al-Biruni memegang teguh filosofi tauhid dengan mempelajari segalanya, dari bebatuan di bawah kakinya sampai planet-planet nan jauh di angkasa, dengan nama Allah. (Scheppler, Bill: 16)

Baca juga : Kegeniusan Al-Biruni, Muslim Bergelar Guru Segala Ilmu
Al-Biruni menulis dalam bukunya Kitab Batu Mulia bahwa kepemilikan atas akal membuat manusia unggul terhadap hewan dan karena itu Allah menjadikan manusia khalifah di Bumi dan bagi bentuk kehidupan lain. Dengan penglihatan, manusia mengamati tanda-tanda kebijaksanaan Allah pada makhluk, dan dengan pendengaran manusia menerima firman Allah. Jantung (kalbu), tulis al-Biruni, adalah pusat akal, sementara penglihatan dan pendengaran bersama-sama memberi pemahaman atas kehendak Allah.
Dengan demikian, posisi filosofis al-Biruni mengutamakan tauhid. Al-Biruni percaya, bahwa pemahaman atas segala hal berarti pemahaman atas asal-usulnya dan ke mana segalanya akan kembali.
Tanpa pernah melenceng dari pencarian kebenaran dan tauhid, sambil terus mengilhami sesama Muslim agar semangat mencari ilmu, al-Biruni menutup Tarikh India (salah satu risalahnya yang fenomenal) dengan kalimat :
“Kami meminta kepada Allah untuk mengampuni kami apabila ada pernyataan kami yang ternyata tak benar. Kami meminta kepada Allah agar membimbing kami ke pemahaman yang tepat mengenai hakikat kebatilan dan kesia-siaan supaya kami dapat menyisihkannya sebagaimana memisahkan sekam dari padi.” (hlm.113)
Semoga Allah senantiasa mengampuni kita dalam setiap salah yang diperbuat. Semangat terus dalam mencari ilmu teman-teman. Semoga selalu Allah dekatkan dengan hal-hal yang bermanfaat.
Referensi dan kutipan khusus dari buku:
Scheppler, Bill. (2013). Seri Tokoh Islam: Al-Biruni Pakar Astronomi dan Ilmuwan Muslim Abad ke-11. Jakarta: PT Gramedia
09/05/2020
Rosi Risalah