Terorisme adalah tindakan erorisme yang menyusup pada pemikiran dan tindakan manusia. Jika terorisme hanya berarti pembunuhan, mengapa sang legenda holocaust Adolf Hitler tidak sering disebut sebagai teroris? Atau bagaimana kaum Buddha di Rohingya, atau Israel dengan pendudukannya di Palestina yang bahkan menembak anak kecil dan kaum tua tidak disebut teroris? Bahkan dalam hukum peperangan pun mereka sudah melanggarnya. Teroris hanya sebuah framing, dengan sisi kejamnya, kepada Islam sebagai agama rahmatan lil alamin.
Hati saya terluka jika terror itu selalu dikaitkan dengan agama Islam, namun memang beginilah fakta yang sedang dibangun dunia. Orang berbondong-bondoh menyalahkan perempuan bercadar, atau laki-laki berjanggut, seolah penampilan sunnah itu adalah jalan menuju ‘bom yang mengantarkan kepada surga’ sungguh miris. Muncul Islamphobia.
Saya pikir, jika kita memahami Islam sesungguhnya, tindakan terorisme itu tidak ada. Bahkan beberapa ulama besar sudah memfatwakan bahwa tindakan ini bid’ah dan hanya merusak. Saya pernah mendengar seseorang di Universitas Oxford dalam debat terbuka mengungkapkan, jika Islam adalah cerminan terorisme, mengapa dari jutaan umat muslim di dunia tidak melakukan tindakan terorisme itu? Jika diprosentasekan, aksi teror itu hanya 0,00001 % dari seluruh umat muslim di dunia. Hampir seluruh umat muslim di dunia itu menolak adanya terorisme. Maka apakah itu adalah muslim yang berpikiran minoritas ataukah mayoritas? Hanya sebagian yang salah mengartikan, yang mengaku ‘muslim’ yang melakukan hal tersebut hingga dampaknya harus dirasakan seluruh umat muslim di dunia.
Sesungguhnya sakit hati umat muslim bisa berubah, bahkan setelah penyiksaan besar-besaran di Palestina bisa saja seluruh muslim melakukan aksi terorisme. Namun nyatanya tidak, karena memang ajaran agama mana yang dilahirkan untuk meneror?
Dalam buku berjudul “It’s easier to reach heaven than the end of the street” yang menjelaskan tentang potret Kota Suci Yerusalem, saya jadi paham, awal mula terorisme yang merupakan sesat pikir dari beberapa orang di sana adalah sebuah keputusasaan. Dimana wilayah pendudukan menyiksa orang-orang Palestina, pemukiman disita, ladang-ladang dijauhkan dari pemiliknya, bahkan selalu ada pos penjagaan disetiap sisi, diberlakukannya jam malam seperti itu yang membuat penduduk Palestina jengah dan kesulitasn. Israel terus melakukan hal yang membuat benci warga disana. Namun toh, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dan dengan segala hal, beberapa memilih melakukan aksi bom bunuh diri. Sebuah perlawanan. Aksi, bahwa dalam pikiran mereka kezhaliman dapat terhenti sementara sebab aksi heroiknya.
Lalu sekarang pertanyaannya, mengapa Israel tidak disorot dunia? Ada apa dengan sistem demokrasi yang diagung-agungkan oleh negara-negara maju itu?
Saya, bukan membenarkan aksi bom bunuh diri. Tidak benar, tidak sama sekali. Hanya saja melihat dari sejarahnya, mereka semua terjebak pada situasi. Sebuah tekanan yang tiada habisnya dari suatu kaum, mendorong perlawanan dari kaum lainnya, lalu teror yang diciptakan membangun ketakukan kepada kaum pertama, dan akhirnya kaum yang melakukan perlawanan itu di cap sebagai kaum radikal yang keras yang bahkan seluruh juta umatnya di belahan dunia lain yang melakukan kebaikan seperti sirna oleh sebab tindakan ‘bunuh diri’ seseorang kaumnya yang putus asa. Mereka dipanggil sebagai teroris.
Saya juga tidak mengerti, aksi terror di Surabaya. Kasus ini seperti pengalihan isu, walaupun memang tidak layak jika mengatakan saya tidak simpati. Saya simpati, saya prihatin, dan saya terluka jika ada manusia lain yang terbunuh. Sebagai manusia, hak asasi manusia, si human right yang diusung semenjak demokratisasi itu berlangsung, seperti hilang, tergerus oleh banyaknya aksi pembunuhan. Aksi main hakim sendiri. Aksi seenaknya. Jika alasannya adalah karena ‘gereja’ itu milik agama lain, tempat ibadah agama lain, ya apa masalahnya? Islam dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Piagam Madinah sebagai tonggak HAM yang saya yakini, lebih dulu hadir sebagai bentuk toleransi, jauh sebelum konvensi HAM 1948. Islam menjelaskan, bahwa toleransi itu adalah menghargai, walaupun kita memang tidak boleh membenarkan. Aksi bom bunuh diri itu, menurut saya telah menyakiti Rosulullah saw yang mencoba membuat perjanjian damai antar agama pada dahulu saat beliau masih berada di dunia. Apakah ini yang dinamakan Islam rahmatan lil alamin? Saya rasa, Rosulullah saw tidak akan menghendaki hal seperti itu.
Kita, seharusnya sadar, ada tanggung jawab dalam diri kita untuk memuliakan agama kita. Ada tanggung jawab juga untuk memperkuat keimanan seseorang. Dan kita memiliki tanggung jawab untuk membuat Islam semakin kuat, namun dengan menebarkan kebaikan, bukan dengan melakukan aksi gegabah terorisme yang hanya merusak citra islam itu sendiri di pandangan seluruh dunia.
Framing media seolah tertawa. Dan apakah seluruh umat Islam hanya diam? Sementara Al-Quds sedang gencar dan darurat. Yerusalem semakin dikuasai oleh mereka. Dan kita bertengkar, pada sebuah hal semu, bahwa Islam itu, adalah jahat? Adalah terror? Betapa terlukanya saya, mendengar berita bom itu. Bahkan ketidakpercayaan orang lain terhadap agama saya membuat saya sedih. Namun, Allah Bersama kita. Apapun itu, tugas kita hanya mengingatkan dan menasehati bukan memaksa seseorang. Rasulullah tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk Islam. Islam ada dengan perdamaian dan untuk perdamaian.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, jika yang dilakukan hanya menambah musibah, memberikan cobaan dengan membunuh banyak orang, menebarkan kezhaliman, melakukan terror, bukankah hidupmu sudah tidak baik?
Jika ditanya apa solusi untuk permasalahan ini saya sendiri terdiam dan tercenung agak lama. Semuanya memang berawal dari paradigma, sebuah dasar pemikiran seseorang. Jika orang itu tidak pernah meyakini perbedaan, akan muncul terorisme. Jika orang itu tidak pernah mentolerir keadaan, ya akan seperti itu akhirnya. Jika situasi yang ada dianggap seolah tekanan, maka hanya berharap kepada tindakan teorisme.
Mengutip perkataan Albert Einstein, bahwa “Solusi dari masalah ini terletak pada hati nurani umat manusia.” Ya, kita hanya perlu menjadi manusia untuk saling menghargai hidup satu sama lain. Kita hanya perlu menyadari fitrah manusia untuk saling menyayangi dan menghargai perbedaan. Kita hanya perlu mengerti, harus membenarkan dan memperbaiki. Bahwa terorisme adalah tindakan eror manusia dan terorisme bukanlah sebuah ajaran agama.
Tulisan ini hanya salah satu tulisan kebut semalam dan opini yang belum terlalu matang. Namun jika ada hal baik maka bisa kita ambil, jika salah mohon maklum dan maafkan. Mari saling diskusi untuk mematangkan pemikiran dan evaluasi dari bahan bacaan 😀
Mata Kuliah Politik Identitas dan Multikulturalisme
Nama : Rosi Risalah Prajabnasti
NPM : 153507033
Kelas : A
Gambar ilustrasi dari : TRIBUNPONTIANAK.CO.ID